Aku menatap Gandhi kesal. Tubuhnya masih belum beranjak dari tempatnya bersimpuh. Namun bibirku tetap mengatakan tidak. Akupun melenggaang begitu saja tanpa menghiraukan Gandhi.
“Kamu kejam Rin,” seru Sisi berlari mengejarku.
“Aku nggak suka dia Si,” alasanku, menghentikan langkahku. “Aku juga nggak mau nyakitin dia nanti.”
Sisi ikut berhenti. Dia menghela nafas panjang.
“Paling nggak kamu respon dikit,” ujar Sisi memandangku tajam.
“Ya lain kali.” Aku melangkah meninggalkan Sisi.
“Kamu akan merasa kalau Gandhi begitu berharag kalau dia sudah hilang dari hidupmu,” seru Sisi lantang.
Huh! Apalagi itu. Rasa kesal dan jengkel semua menyatu dalam dada. Rasa jengkel ke Gandhi ditambah Sisi yang ikut-ikutan rese.
Aku sudah melakukan yang terbaik buat aku dan Gandhi. Aku tidak ingin Gandhi kecewa dimasa mendatang. Ini jalan terbaik. Ya meski sebenarnya aku punya alasan lain. Tapi apa harus aku jelaskan kesemua orang? Termasuk Sisi dan Gandhi.
Aku menyertarter sepeda montorku. Semangatku buat kuliah hari ini hilang sudah.
***
Pagi ini kampus tak terlalu ramai. Hanya beberapa mahasiswa yang berlalu lalang untuk memulai kuliah paginya. Juga petugas kebersihan yang sedang sibuk menyapu dedaunan kering yang mengotori halaman kampus.
Sebenarnya kuliahku masih dimulai jam sepuluh nanti. Tapi entah kenapa aku males berada di rumah. Maklum tadi pagi terjadi pertengkaran kecil antara aku dan Ibuku. Hal itu sudah menjadi rutinitasku. Tadi malam Ibuku pulang dengan berhuyun-huyun. Entah berapa botol bir yang dihabiskannya.
Ibu memulai bertingkah konyol sejak Papaku pergi entah kemana. Sejak itu pula aku tak terlalu percaya sama cinta dan kasih sayang. Ku tolak semua laki-laki yang menyatakan cinta kepadaku. Karena ku tahu semua hanya omong kosong belaka.
Mereka mulai berguguran satu persatu. Mulai kabur dengan sendirinya. Setelah mereka bosan merayuku. Atau mendapat makian dariku. Akupun belum pernah pacaran. Cukup ironis memang. Ini semua aku lakukan karena aku tak ingin merana saat ditinggal oleh laki-laki manapun.
Dan hanya Gandhi yang masih bertahan. Dia setiap hari menghampiriku. Untuk sekedar menyapa atau mengajak pulang bareng dan jalan. Meski Gandhi tahu kalau jawabku tetap “tidak” namun dia gigih. Tak ada kata menyerah baginya.
Sedikit rasa kagum di hatiku. Tapi aku terlalu menutupi dengan egoku yang lebih besar. Aku juga kadang bosan dengan ajakan Gandhi. Tak jarang bentakkan keluar dari mulutku. Namun itu tak mematahkan Gandhi untuk mendapatkan hatiku. Entah apa yang ada di dalam pikirannya.
Sampai kemarahanku memuncak, saat Gandhi melemparkan gulungan kertas ke mejaku. Dan bu Sandy, dosen yang terkenal killer, mengetahuinya. Diambilnya kertas itu dan aku disuruh maju ke depan kelas untuk membacanya.
“Malam bagaikan tak pernah gelap bila ada kau. Bintang dan bulan itu tak bisa menandingi elok parasmu. Ya walau kau bagai harder. Namun itu yang menambah aku mencintai. Dan terimalah kasih tulus ini putri. Walau kau hanya memjadikanku seorang babu. Tak apa yang penting menjadi babu seorang putri secantik kau. Oh Ririn,” bacaku lirih.
Meski lirih seluruh kelas dapat mendengarkannya dengan jelas. Buktinya mereka langsung tertawa setelah aku selesai membacanya. Tak hanya mendapat malu. Aku dihukum bu Sandy mengambil buku ke perpus yang terkenal pengap. Kalau hanya satu dua buku aku maklum. Tapi ini tigabelas buku yang cukuplah tebal. Sial!
Tak henti-hentinya kau mengutuk Gandhi.
Setelah mata kuliah selesai. Aku memaki-maki Gandhi sesukaku. Semua keluar dari mulut begitu saja. Entah aku kerasukkan setan dari mana. Intinya aku kesal sama anak satu ini. Pokoknya kesal.
“Udah Gan nggak usah deket-deket aku lagi. Aku sial gara-gara ulahmu. Pokoknya aku benci kamu. Jangan ganggu hidupku lagi,” maki sebelum aku meninggalkan Gandhi yang menatapku melas.
Di mukanya jelas tersirat kalau dia merasa menyesal dengan kelakukannya. Namun aku tak mau menanggung malu lagi. Terlalu banyak kelakukan konyol yang dia perbuat. Dan aku harap ini yang terakhir.
Aku benci kamu Gan!
***
Hari berlalu begitu cepat. Tak terasa aku sudah semester enam. Itu berarti sebentar lagi aku akan menyandang gelar sarjana. Ini berarti juga setahun lebih Gandhi agak hilang dari kehidupanku. Meski aku sering melihatnya berkeliaran di kampus. Namun tak sedikitpun dia menyapa. Rasanya beda seperti Gandhi yang dulu.
Sejak makianku, Gandhi memang menyoba untuk menghilang dari kehidupanku. Ya, walau tak untuk selamanya. Kami satu kampus dan beberapa mata kuliah kami sama hingga memaksa kami untuk bertemu.
Lama-lama aku rindu dengan rayuan dan ajakan Gandhi. Rasanya setahun ini hidupku terasa hampa. Tak ada yang menyambangiku setiap pagi. Meski hanya untuk say hello. Tak ada pula yang mengajak pulang. Tak ada pula yang mati-matian nawarin bantuan kalau aku lagi kesusahan.
Benar kata Sisi, aku akan merasa kehilangan saat Gandhi telah menghilang dari kehidupanku.
Ah! Apa ini yang namanya cinta. Saat kita merasa kehilangan baru terasa bahwa seseorang itu yang sangat berarti. Namun bagaimana aku mengekspresikan perasaanku yang sebenarnya. Sumpah aku gengsi dan malu sekali setelah kejadian itu.
“Udah minta maaf sana. Nggak ada kata terlambat,” begitu respon Sisi saat aku curhat tentang perasaanku.
“Tapi…”
“Kamu nggak mau kan kehilangan Gandhi kedua kalinya? Buang tuh rasa gengsimu yang terlalu menyiksa perasaanmu.”
Aku mengangguk pelan.
Siangnya aku mencari Gandhi. Dan aku menemukan dia di taman. Aku tersenyum menghampiri Gandhi yang sedang duduk di bawah pohon. Sepertinya dia sedang sibuk dengan bukunya. Sampai-sampai tak menyadari kehadiranku.
“Hai,” sapaku yang langsung duduk disampingnya.
Dia mengalihkan pandangannya dari buku. Dia menatapku kaget. Namun dia cepat-cepat mengantinya dengan senyum.
Gandhi mengerutkan dahinya.
“Hai juga,” sapanya balik. Alisnya terangkat satu. “Ada apa ya? Katanya tidak mau ngomong dan bertemu sama aku lagi.”
“Maaf yang dulu. Aku cuma terbawa emosi saja. Sedikitpun aku tak bermaksud begitu,” kataku lirih.
“Ya tak apa. Aku tahu, aku lebay mengejarmu.”
Aku hanya tersenyum. Aku bingung apa yang akan kukatakan. Kalimat yang aku susun tadi seolah hilang begitu saja. Sumpah ini pertamanya aku mati gaya dihadapan cowok.
“Gan, nanti malam mau nggak jemput aku dan kita jalan bareng?” tanyaku sedikit ragu.
Wajah Gandhi langsung berubah aneh. “Maaf Rin bukannya aku nggak mau tapi…”
“Ayolah. Aku tahu aku sering menolak ajakkanmu, tapi untuk ini aku yang mengajak kamu.” Sebisa mungkin aku pasang muka memohon. Sekarang aku harus berjuang merayu cowok yang selama ini aku tolak.
Gandhi memejamkan mata lalu menunduk. Sepertinya dia sedang berfikir keras untuk menjelaskan alasan penolakannya.
“Please Gan! Kamu nggak mau kan kesempatan ini hilang begitu saja,” paksaku.
Akhirnya Gandhi mengangguk. Meski disorot matanya nampak ada yang dia tutupi. Namun aku tak terlalu memikirkan itu. Yang penting Gandhi mau jemput dan jalan sama aku.
Malamnya aku keluar dari kelasku. Aku memang sengaja mengambil kuliah malam. Siangnya aku magang di kantor milik Omku. Juga biar Gandhi bisa jemput aku. Karena aku tahu siangnya Gandhi sibuk dengan kuliahnya sampai sore. Tentunya tak ada kesempatan buat menjemputku.
Aku menunggu di depan kampus. Kampus mulai sepi. Memang hanya beberapa orang saja yang mengambil kuliah malam. Mungkin karena siangnya mereka harus berkerja terlebih dulu. Ya seperti aku ini.
Sepuluh menit Gandhi belum juga datang. Aku masih tenang menunggu. Mungkin dia terkena macet di jalan. Begitu pikirku. Limabelas menit Gandhi belum datang juga. Aku masih mencoba berpikir positif.
Atau jangan-jangan Gandhi lupa menjemputku? Ah, tidak mungkin. Aku tahu Gandhi orangnya selalu nepatin janji.
Aku tetap menunggu Gandhi sambil melihat kendaraan berlalu lalang. Juga beberapa pasangan yang sedang asyik bermersaan di emperan toko. Tempat di mana penjual kaki lima menjajankan dagangannya.
Jam tanganku menunjukkan pukul 22.05. Namun Gandhi tak kunjung datang. Aku mulai gusar. Bukan apa-apa. Aku takut Gandhi terjadi apa-apa di jalan. Kalau soal pulang aku bisa naik taksi yang masih beroperasi jam segini.
Aku memecet nomer hape Gandhi dari hape yang aku beli dengan uang hasil magangku. Lumayan bisa menganti hapeku yang dulu rusak. Tak ada jawaban dari sebrang. Berkali-kali aku telpon tetap tak ada yang menjawab. Hatiku tambah tak tenang. Aku takut Gandhi kenapa-napa.
Dugaanku makin dikuatkan saat Sisi menelponku beberapa menit kemudian.
“Kamu dimana Rin?” tanya dengan nada cemas.
“Masih di kampus nunggu Gandhi,” jawabku.
“Apa? Nunggu Gandhi? Gandhi baru saja dibawa ke rumah sakit. Dia pingsang di jalan Diponegaro. Aku kebetulan lewat disana.”
***
Aku menatap ruang ICU. Gandhi tergolek lemah dengan berbagai alat yang dipasang untuk mempertahankan kehidupannya. Tak terasa pipiku panas dan buliran air mulai turun tanpa bisa aku tahan lagi. seorang suster menarik gorden dari dalam. Bertanda habisnya waktu besuk pasien.
Sisi menepukku bahuku pelan. Namun aku tak beranjak dari pandanganku.
“Penyakit Gandhi kumat saat dia akan menemuimu,” ujar Sisi begitu saja.
Kualihkan pandanganku ke Sisi. Mataku merah dan air mata turun tanpa henti.
“Dia lahir prematur dan sangat lemah apalagi dengan angin malam,” lanjut Sisi menatapku dalam.
Aku baru menyadari Gandhi tak pernah mengajakku jalan di malam minggu atau di malam-malam lainnya.
Rasa bersalah tumbuh seketika. Aku tak bermaksud begitu. Aku hanya ingin mengatakan. “Gan, aku sayang kamu.”
“Tahu darimana kamu?”
“Tadi ibunya cerita. Tenanglah semua akan baik-baik saja,” hibur Sisi mengelus punggungku pelan.
Aku menghela nafas panjang. Kucoba kutenangkan hatiku. Dan mengamin kata-kata Sisi. Semuanya akan baik-baik saja. Namun ketenangku tak berlangsung lama.
Tiba-tiba seorang suster keluar memanggil dokter jaga. Dokter tersebut lari menuju ruang ICU. Semua nampak tegang. Orangg tua Gandhi langsung berdiri. Nampak wajah cemas di muka mereka.
Semua bertambah buruk saat dokter keluar dari ruang tersebut. Wajahnya kusut, dengan peluh bercucuran di wajahnya. Orang tua Gandhi langsung menghampiri dokter tersebut. Tak selang lama suara tangis ibu Gandhi pecah.
Sisi kemudian mendekati kerumuan tersebut. Sisi melirikku iba. Aku menatap balik penuh tanya. Mengharap semua baik-baik saja. Sisi menghampiriku dan langsung memelukku.
“Dia sudah tenang disana,” ujarnya lirih.
Seakan tersambar petir hatiku hancur. Rasanya kaki ini tak kuasa lagi menahan beban tubuhku. Aku melepaskan pelukkan Sisi dan terjatuh lemas di lantai. Tak henti-hentinya aku mengutuk diriku sendiri. Semua ini salahku. Aku yang memaksa Gandhi buat bertemu aku. Meski aku tahu Gandhi tidak bisa. Dasar aku membawa sial!
Sisi mencoba menenangku. Dia mengatakan bahwa ini bukan salahku. Ini semua adalah jalan Tuhan. Gandhi ditakdirkan Tuhan meninggal saat itu. Aku terdiam. Air mata ini tak keluar lagi. Aku hanya bisa menatap nanar mayat Gandhi yang dibawa keluar tak selang lama.
Aku masih tak percaya kalau Gandhi telah tiada. Tadi siang dia masih mengangguk saat menerima ajakkanku. Tapi kenapa sekarang dia harus mengingkarinya.
Gan, seandainya kamu masih ada disini. Ingin rasanya kukatakan. Aku cinta kamu Gan. Maafkan diriku yang selalu menyakitimu. Terima kasih atas semua pengorbananmu. Kau adalah cinta pertamaku dan akan kukenang selalu. Tenanglah disana sayang. Aku mencintaimu disini.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Write your words ^^