Kamis, 13 Juni 2013

Ti Amo



Finally I've done it \m/. After I read novel bout the character study in abroad and a travel book, so I decide myself to write it. I know I cant 'bring' you to Rome, but its my best. Nope, not my best I just try my best. Maybe later I can do better. Btw, thanks to google who give me information bout Rome. And its killing me! Sorry for my story that too much anti mainstream. I didn't have any idea for it haha.


Ti Amo
Mataku masih lekat melihat air yang turun begitu aja dari langit. Tak terlalu deras tapi cukup membuat tubuhku basah. Aku kembali merapatkan mantel yang setengah basah. Hasil aku lari dari cafe sidewalk. Tak cukup berhasil untuk menyelamatkan tubuhku dari air hujan.
Entah kadang hujan datang diwaktu yang tepat. Disaat semua sedang membutuhkan kehangatkan. Disaat patah hati yang tak berujung. Disaat segala berpisahan harus terjadi. Disaat aku dan dia harus berakhir tragis seperti ini.
Aku masih termenung melihat air hujan yang sepertinya semakin awet. Sialnya aku lupa membawa sarung tanganku. Tanganku bergesekan satu sama lain, mencoba menghangatkan badan. Selebat memoriku dengan Alroy terlintas begitu saja. Aku tersenyum. Sulit rasanya harus menghapus memori indah tiga bulan ini. Berawal dari Alisson yang menyuruhku mengajak jalan-jalan sepupunya. Tepatnya, aku dipaksa nemani sepupunya yang baru dateng dari Ireland. Tugar Mr. Carlo Palazzo memaksanya untuk tetap ditinggal di flat kami.

Awalnya kami janjian ketemu di Trevi Fountain. Entah pesona apa yang membuatnya memilih air mancur dengan hiasan patung eksotis karya Nicolas Salvi. Kami berdua hanya diam tak saling berbicara. Mata bening ala irish terus mengamati detail-detil air mancur yang penuh legenda ini. Dahi Alroy menggerut melihat orang-orang yang melempar koin ke arah kolam.
Aku menahan tawa melihat ekspersi muka Alroy.
"Wanna try it?" kuberikan satu koin ke Alroy. "Throw it and you can go back to Rome. Haha just fairy tale, right?"
Alroy hanya mengangguk dan mengambil koin dari tanganku. Kemudian dia melemparnya dengan cara membelakanginya.
“I believe it." Dia tersenyum.
Entah tiba-tiba angin yang menerbangkan sedikit rambut merahnya. Lengkuk bibirnya terlihat indah saat dia tersenyum. Aku hanya bisa diam terpana melihatnya.
"I'm starving. Have any idea to eat?"
Cepat-cepat aku mengubah mimik terpanaku. "Pizza Vegetarian." Setelah menyebut nama makanan itu aku langsung jalan untuk menyembunyikan muka merahku.
Di cafe yang ada dekat Trevi Fountain, dari situlah aku mengenal Alroy. Ternyata dia liburan ke Rome selama dua minggu full. Dia baru bertunangan. Tidak tidak mengatakannya. Tapi aku melihat cincin di jari manisnya. Sedikit kaget dan kecewa. Memang cowok seganteng Alroy tidak mungkin masih sendiri.
Aku heran kenapa dua minggu cuma dihabiskan di Rome dan tidak dibagi-bagi dengan kota lain yang eksotis di Itali. Saat ditanya dia cuma menjawab : I'm falling in love with Rome. Aku nggak tahu apa maksudnya dari jatuh cinta dengan Roma. Aku juga jatuh  cinta dengan Roma sejak pertama kali mendengar namanya. Tapi kalo disuruh menggunakan waktu dua minggu aku akan mengunjungi semua kota keren di Itali. Tidak hanya Roma.
Keesokan harinya Alisson masih sibuk Drafting Mechine-nya. Ini bertanda buruk dan baik. Dia kembali memaksaku menemani ke Pantheon dan Campo de Fiori. Mau nolak sayang kalau nerima aku tidak yakin tahan dengan senyumnya. Entah begitu saja kepalaku mengangguk di luar akal pikiranku.
Setelah naik bus elektrik kita harus menempuh perjalanan dengan jalan kaki. Campo de Fiori letaknya yang di Piazza memang sulit dijangkau dengan kendaraan umum. Campo de Fiori pasar basahnya Roma di pagi hari. Semacam macam tradisional yang menjual berbagai kebutuhan warga Roma.
Seperti anak ketemu dengan taman permen. Wajah Alroy begitu berseri-seri dia berjalan kesana kemari menjelajahi setiap stand yang ada di Campo de Fiori. Dengan bahasa Itali yang cukup pas-pas dia memilih beberapa buah.
Buongiorno. Quanto costa?” katanya sambil memegang buah apel.
Aku tersenyum. Mataku sibuk melihat tingkah lakunya. Tepatnya setiap pesona yang dia miliki. Dia sering tersenyum kepada orang yang ditemuinya. Matanya yang bening terkena sinar matahari yang hari ini bersinar tidak seperti biasanya. Aku berasa ada di musim semi.
Kami naik bus 116 menuju ke kuil Pantheon yang dijuluki The Temple Of God. Karena dulunya adalah kuil pemujaan para dewa. Pantheon termasuk salah satu tempat yang aku sukai di Roma. Selain tengahnya berbentuk lingkaran. Dengan bangunan dan tiang-tiang yang kokoh. Tapi yang paling membuat spesial adalah Dome yang terletak di tengah-tengah. Aku menyukainya karena cahaya matahari bisa masuk melalui lubang besar dan memancarkan cahaya di lantai granit yang ada dibawahnya. Ruangan semakin terlihat megah dan bersinar.
Kadang aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk melihat awan yang bergerak dari bawah sini. Yah, sesekali aku melihat beberapa pengunjung tiduran di lantai sambil mengabdikan panoraman spekta ini. Kalau aku tak punya malu, aku pasti langsung ikut serta dengan mereka. Tetapi budaya ketimuranku memaksa untuk bersikap wajar dan tidak keluar jalur sebagaimana mestinya.
No wonder melihat Alroy terpesona saat mulai memasuki Pantheon. Apalagi saat melihat “Mata Besar” dia semakin tak berhenti takjud. Dia terus mendongkak keatas mengamati lubang besar yang dihiasi perunggu. Tiba-tiba saja dia tiduran di bawah “Mata Besar” berbantalkan tangannya yang ditekuk.
Aku tersenyum. Dia begitu unik untuk dilewatkan. Entah ada hawa aneh yang mendorongku untuk bergabung dengan Alroy. Ya, aku sudah berbaring di samping Alroy menikmati semilir angin dengan mata terus dimanjakan senyum Alroy. Ingin rasanya waktu berhenti sejenak. Agar aku leluasa memandangi rambut merah itu.
Mungkin apa yang membuatku jatuh cinta kepadanya? Mata beningnya, rambut merah yang berkibar tertiup angin dan senyumnya yang mempunyai magnet tersendiri. Seperti di Pantheon’s Dome saat atap bagian atas mulia membuka dan kembali rambutnya berkibar tertiup angin. Meski aku selalu terpesona melihat “Mata Besat” kali ini tidak. Cowok 181 m disampingku cukup membuat mataku buta sejenak.
Semua terasa blur dan hanya fokus kepada Alroy. Aku tersenyum, mungkin Afrodit sedang menembakan panah cintanya kepadaku.
"You can call me, Al."
Dan kembali aku hanya bisa tersenyum karena terlalu terpesona dengan senyum dan mata beningnya itu
***
Dia bertengkar lagi dengan tunangannya. Ya, aku tahu dari wajahnya yang kusut saat aku temui dia di lobi hotel. Ditangannya masih memegang handphone. Akhir-akhir ini memangdia sering bertengkar dengan tunangannya.
“Ayo cari makan. Aku lapar.”
Cuma itu yang dia katakan dan begitu saja melenggang. Aku hanya bisa mengikutnya.
***
"Bagaimana kamu mengatakan tidak menyukaiku, sejak hari pertama kau memandangiku dengan mulut mengangga." Alroy tertawa kecil.
"Ha?"
Kembali, Alroy tertawa melihat ekspresi mukaku. Pipiku langsung merona seketika. Cepat-cepat aku meminum kopiku menutupi kekagetanku.
Alroy tertawa kecil. "Ayolah tak usah berbohong. Aku juga menyukaimu."
Hampir saja cangkir ini lepas dari genggamanku.
"Apa maksudmu?" kataku tajam.
"Yeah, I know I've fiance,"
"Somehow you can feel disappointing with your choose."
Aku mengerutkan dahi dalam. 
            “Sungguh aku menyukaimu. Dia tidak seperti kamu. Terlalu kolot dan overprotective. Kamu beda. Kamu apa adanya.”
            “Maksudmu aku menjadi pelarian begitu?” tuduhku tajam. Sebisanya dia mengatakan seperti itu.
            “Tidak. Aku serius. Kenapa tidak kita jalani saja. Toh kita tidak akan sama-sama rugi,” jawab Alroy mengenggam tanganku. Hangat. semacam sengatan listik di seluruh tubuhku.
            Aku diam cukup lama. Hanya memandangi mata bening itu tanpa bisa mengungkapkan kata-kata yang pas untuk memuji mata indah itu.
            “Tunanganku?” tanya Alroy yang bisa membaca ekspresi cemas dimukaku.
            “Don’t worry about it, Hun.”
            Tsah... dia memanggilku ‘Hun’. Seperti ada aliran air keseluruh tubuh yang menyejukkan. Ak hanya tersenyum.
Seperti mimpi indah menjadi kenyataan. Hari-hariku yang dulunya hanya diisi drafting machine, pena, sketchbook, dan penggaris. Dan sekarang ada sesuatu yang mengelitik perut. Yang membuatku semangat buat bangun pagi. Yang membuatku menjadi nakal dikit dengan membolos kuliah.
Seperti saat ini kami duduk berdua di tepian Sungai Tiber di distrik Trastevere. Tanganku bergemelayutan di tangan kekar Alroy. Udara dingin terganti oleh hangatnya dekapan Alroy. Aku menikmati hari-hari bersamanya. Tapi ada rasa takut yang terus terselip dihati.
Besok. Ya besok Alroy akan pulang. Dia terus menenangkan ku semuanya akan baik-baik saja. Aku hanya bisa mengangguk dengan senyum terpaksa. Aku tahu semuanya tidak akan baik-baik saja. Ketakutanku semakin memuncak ketika aku sadar disana diakan bertemu dengan tunangannya. Atau mantan –dia belum mengatakan memutuskan atau belum. Aku takut keputusannya tiba-tiba berubah.
Alroy seperti mengetahui kegelisahanku. Dia mendekapku makin kuat seraya mengecup keningku.
“What’s the big hurry? Everything gonna be fine, Hun.”
***
Maret. Seperti biasa. Hujan masih membasahi kota roma. Aku duduk di kafe sidewalk berhadapan dengan Alroy. Kami hanya duduk dalam diam. Tidak ada yang saling bicara. Hanya duduk sambil meneguk kopi masing-masing.
Cipratan air kadang-kadang berhampur kearah kami. Tapi alroy tak bergeming mengajakku pergi dari sini. Aku tahu besok dia sudah balik tapi sikapnya hari sangat aneh. Beberapa kali terlihat dia menghembuskan nafasnya. Wajahnya juga kelihatan gelisah.
"What a matter hun?"
Aku mulai terbiasa memanggilnya sayang itu.
Dia mendongkak dari kopinya. Tangannya masih bermain dengan pinggiran gelas kopi.
"Nothing." dia tersenyum. Senyum kaku dan terpaksa.
Dia kembali memainkan tangannya di gelas.
“I wanna talk to you, Nar?”
Aku menggerutkan dahi. Dia memanggil namaku? Maksudku ‘Nar’ bukan ‘Hun’ seperti biasanya. Apa aku tadi salah mendengar?
“Tomorrow I’ll come back.”
I know.
Dia menarik nafas panjang. “We have to break up.” Singkat tapi nusuk.
Aku terperangah? Kenapa? Ada apa? Setahuku kita nggak ada masalah? Apa gara-gara dia punya tunangan? Tapi katanya dia akan memutuskan bertunangnya demi aku? apa karena dia harus balik ke Ireland? Masalah komunikasi? Apa dia nggak mau menghargai jasa Leonard Kleinrock yang telah menemukan internet?
"Tunanganmu? Bukankah kamu bilang soal pertunanganmu tidak menjadi masalah? Kamu akan memutuskan secepatnya, bukan?"
"Ini bukan masalah pertunangan. Ini masalah kompleks. Ah, aku tidak tahu harus memulainya darimana?"
"Apa? I need your explain."
Hening. Hanya terdengar langkah kaki orang berlalu lalang. Hari ini cukup mendung untuk membuat orang tergesa-gesa.
"Tapi..."
"You can't break me like this!”
"Oke oke aku menjelaskannya. Tapi tolong kamu bisa mengerti."
Aku mengangguk. Aku tak tahu harus membalas apa.
Hujan meninggalkan gerimisnya. Kupeluk tasku dan mulai berlari. Setiap kata yang diucapkan Alroy begitu melekat. Yeah, satu jam lalu dia memutuskan setelah hampir dua minggu bersama. Aku tak tahu aku harus menerimanya atau memakinya. Tapi hatiku terlalu sakit dari sekedar makian. Tidakkah dia bertanggung jawab telah menerbangkan seorang wanita ke langit dan menghembaskan begitu saja?
Air mataku mengalir begitu saja. Mungkin ini pertama kalinya aku menangis karena laki-laki yang seharusnya tak pantas ditangisi. Kadang aku bersyukur adanya hujan. Aku tak perlu menutupi wajah basahku diantara orang-orang berjalan. Karena hujan telah melakukannya.
"Aku punya tunangan." Heh! Aku tahu dan kamu tidak mempermasalahkannya. "Dia seorang laki-laki."
Hujan masih saja mengalun. Rintikannya mulai terasa di hatiku. Petir memang tak terdengar. Tapi sangat nyata mengaum dihatiku. Aku berharap bumi terbelah saat itu dan menelanku.
“Aku tahu aku salah. Aku datang ke Roma buat menenangkan diriku. Untuk memikirkan kalau selama ini tindakkanku salah,” jelas Alroy begitu saja tanpa aku meminta. “Dan akhirnya kamu datang. Kamu begitu baiknya padaku. Hatiku yang sempat tertutup untuk perempuan, terbuka berlahan-lahan dengan kebaikanmu.”
Aku masih diam tak percaya. Jujur, bibirku mengangga tapi tak dapat menyusun kata-kata.
            “O ya Nar. Makasih ya sudah mau ngertiin aku. Aku tahu ini mungkin berat buat kamu. Tapi aku yakin kamu pasti bisa nemuin yang lebih dari aku.”
Tidak untuk mata bening dan rambut merahmu. Tidakkan ada yang sama!
***
Maafkan aku Nar. Maaf. Aku sangat bersalah denganmu. Sejujurnya aku tidak mau main-main denganmu. Aku ke Rome buat menenangkan diri setelah dia melamarku. Aku cuma takut aku telah mengambil keputusan yang salah. Dan disini aku bertemu denganmu yang sangat beda dengan kekasihku. Maksudku beda secara sifat dan kepribadian. Kamu baik, santun, dan innocent. Tingkah lakumu begitu membuatku rindu akan perempuan. Kamu beda. Kamu istimewa. Sampai aku menyadari aku tidak bisa membahagiakanmu. Aku hanya seorang bi yang tidak tahu bagaimana membahagaikan perempuan. Terima kasih untuk 14 hari ini. terima kasih atas semuanya. Terima kasih telah mencintaiku dengan tulus. Aku akan selalu mencintaimu, selalu. J
Aku meremat dengan sepenuh tenaga. Semua perasaan rasanya tumpah. Tangis ini mungkin  tidak akan bisa menggambarkan semuanya. Rasa sakit ini sudah tidak bisa dikatakan lagi. Semua rasanya gelap dan suram.
Sekarang, disini, aku hanya termenung melihat langit yang takkan pernah menampakkan bintang. Disini aku terduduk sambil merapatkan mantel dan berharap esok cepat datang agar aku cepat melupakan. Aku cinta kamu Al, sepenuh hatiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Write your words ^^